Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Telah diketahui bahwa prostitusi sendiri sudah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu. Prostitusi cenderung menyebar semakin luas dari tahun ke tahun meskipun prakteknya secara terselubung. Sehingga perlu dilakukan sebuah tindakan guna mempersempit jaringan prostitusi ini.
A. Definisi Prostitusi
Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Sedang prostitue adalah pelacur dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri . Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya . Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa prostitusi merupakan perzinaan dengan menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual berupa menyewakan tubuh. Sehingga prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat.
Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Sedang prostitue adalah pelacur dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri . Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya . Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa prostitusi merupakan perzinaan dengan menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual berupa menyewakan tubuh. Sehingga prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat.
B. Sejarah Prostitusi
Timbulnya masalah pelacuran sendiri sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu pelacuran mempunyai koneksi dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu . Di Indonesia sendiri prostitusi sudah ada sejak zaman kerajaan terlebih ketika kerajaan-kerajaan tersebut berperang, maka banyak sekali tawanan wanita yang dijadikan selir-selir dan penghuni rumah-rumah pelacuran. Pelacuran selalu dianggap sebagai hal yang negatif dan mengganggu masyarakat namun dulu di Cina pelacur dianggap sebagai orang yang terhormat. Di Cina pelacur atau yang terkenal dengan sebutan Geisha sejak kecil telah diajarkan beberapa keterampilan dan kesopanan sehingga mereka diletakkan pada kedudukan yang lebih terhormat. Disini sangat terlihat adanya bias gender dimana kaum lelaki memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan perempuan. Selama masih ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali dan hati nurani pelacur yang belum sadar maka prostitusi ini akan sulit dihilangkan.
Timbulnya masalah pelacuran sendiri sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu pelacuran mempunyai koneksi dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu . Di Indonesia sendiri prostitusi sudah ada sejak zaman kerajaan terlebih ketika kerajaan-kerajaan tersebut berperang, maka banyak sekali tawanan wanita yang dijadikan selir-selir dan penghuni rumah-rumah pelacuran. Pelacuran selalu dianggap sebagai hal yang negatif dan mengganggu masyarakat namun dulu di Cina pelacur dianggap sebagai orang yang terhormat. Di Cina pelacur atau yang terkenal dengan sebutan Geisha sejak kecil telah diajarkan beberapa keterampilan dan kesopanan sehingga mereka diletakkan pada kedudukan yang lebih terhormat. Disini sangat terlihat adanya bias gender dimana kaum lelaki memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan perempuan. Selama masih ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali dan hati nurani pelacur yang belum sadar maka prostitusi ini akan sulit dihilangkan.
C. Prostitusi dan Patologi SosialPelacuran sendiri merupakan perilaku yang di anggap menyimpang dalam masyarakat. Di dalam patologi sosial pelacuran masuk ke dalam fase sistematik. Merupakan sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang berbeda dari situasi umum . Prostitusi sendiri umumnya memiliki jaringan atau sindikat dalam kegiatannya. Di lihat dari proses terbentuknya prostitusi berkaitan erat dengan teori patologi sosial. Prostitusi sudah terjadi berabad-abad tahun lalu hingga sekarangpun tidak pernah terhentikan, hal ini seakan-akan menggambarkan keadaan masyarakat dari abad ke abad yang cenderung selalu sakit.
Namun sekarang ini pelacuran telah mempengaruhi remaja, terlihat dengan banyaknya remaja yang masuk ke dunia prostitusi ini. Pada umumnya para remaja ini tidak memahami apa yang akan di timbulkan oleh pelacuran itu sendiri.
Peraturan pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagai berikut : wanita tuna susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak . Di Indonesia pelacuran dipandang negatif, palakunyapun dianggap sebagai sampah masyarakat. Karena dengan adanya kegiatan prostitusi ini sangat meresahkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar wilayah yang dijadikan tempat mangkal para pelacur ini. Keberadaan para pelacur ini akan berdampak buruk terhadap anak-anak serta kaum pria yang berada di sekelilingnya. Pelacuran sangat bertentangan dengan norma adat dan agama.
Namun sekarang ini pelacuran telah mempengaruhi remaja, terlihat dengan banyaknya remaja yang masuk ke dunia prostitusi ini. Pada umumnya para remaja ini tidak memahami apa yang akan di timbulkan oleh pelacuran itu sendiri.
Peraturan pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagai berikut : wanita tuna susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak . Di Indonesia pelacuran dipandang negatif, palakunyapun dianggap sebagai sampah masyarakat. Karena dengan adanya kegiatan prostitusi ini sangat meresahkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar wilayah yang dijadikan tempat mangkal para pelacur ini. Keberadaan para pelacur ini akan berdampak buruk terhadap anak-anak serta kaum pria yang berada di sekelilingnya. Pelacuran sangat bertentangan dengan norma adat dan agama.
D. Jenis prostitusi
Jenis prostitusi menurut aktivitasnya yaitu :
(a) Prostitusi yang terdaftar
Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum. Pelakunya diawasi oleh kepolisian yang bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan . Namun kenyataannya cara ini tidaklah efisien karena kenyataannya tidak adanya kerja sama antara pelacur dengan petugas kesehatan.
(b) Prostitusi yang tidak terdaftar
Mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi dan tempatnyapun tidak tertentu, sehingga kesehatannya sangat diragukan.
Jenis prostitusi menurut jumlahnya yaitu :
(a) Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator
Sering disebut dengan pelacur jalanan. Mereka biasanya mangkal di pinggir jalan, stasiun maupun tempat-tempat aman lainnya. Para pelacur ini menjalankan profesinya dengan terselubung.
(b) Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. Jadi, mereka tidak bekerja sendirian melainkan diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Biasanya dalam bentuk rumah bordir, bar atau casino.
Jenis prostitusi menurut tempat penggolongan atau lokalisasinya yaitu:
(a) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Seperti lokalisasi Silir di Solo dan Gang Dolly di Surabaya. Meskipun lokalisasi ini sudah tidak ada namun para pelacur masih beroperasi yaitu di pinggir jalan, hek malam dan mereka merupakan pelacur kelas bawah yang bekerja sama dengan sopir becak dan para pedagang.
(b) Rumah-rumah panggilan
Rumah-rumah panggilan ini memiliki ciri khusus dimana hanya pihak yang terkait saja yang mengetahuinya. Selain itu kegiatannyapun lebih terorganisir dan tertutup.
(c) Dibalik front organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat (salon kecantikan, tempat pijat, rumah makan, warnet, warung remang-remang, dll). Disini sudah memiliki jaringan yang baik dan terorganisir. Tidak sedikit yang melibatkan orang-orang terhormat maupun pihak keamanan yaitu polisi.
Jenis prostitusi menurut aktivitasnya yaitu :
(a) Prostitusi yang terdaftar
Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum. Pelakunya diawasi oleh kepolisian yang bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan . Namun kenyataannya cara ini tidaklah efisien karena kenyataannya tidak adanya kerja sama antara pelacur dengan petugas kesehatan.
(b) Prostitusi yang tidak terdaftar
Mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi dan tempatnyapun tidak tertentu, sehingga kesehatannya sangat diragukan.
Jenis prostitusi menurut jumlahnya yaitu :
(a) Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator
Sering disebut dengan pelacur jalanan. Mereka biasanya mangkal di pinggir jalan, stasiun maupun tempat-tempat aman lainnya. Para pelacur ini menjalankan profesinya dengan terselubung.
(b) Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. Jadi, mereka tidak bekerja sendirian melainkan diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Biasanya dalam bentuk rumah bordir, bar atau casino.
Jenis prostitusi menurut tempat penggolongan atau lokalisasinya yaitu:
(a) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Seperti lokalisasi Silir di Solo dan Gang Dolly di Surabaya. Meskipun lokalisasi ini sudah tidak ada namun para pelacur masih beroperasi yaitu di pinggir jalan, hek malam dan mereka merupakan pelacur kelas bawah yang bekerja sama dengan sopir becak dan para pedagang.
(b) Rumah-rumah panggilan
Rumah-rumah panggilan ini memiliki ciri khusus dimana hanya pihak yang terkait saja yang mengetahuinya. Selain itu kegiatannyapun lebih terorganisir dan tertutup.
(c) Dibalik front organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat (salon kecantikan, tempat pijat, rumah makan, warnet, warung remang-remang, dll). Disini sudah memiliki jaringan yang baik dan terorganisir. Tidak sedikit yang melibatkan orang-orang terhormat maupun pihak keamanan yaitu polisi.
E. Skema jaringan prostitusi
F. Faktor-faktor penyebab terjadinya prostitusiAda dua faktor yang menjadi penyebab prostitusi yaitu :
(a) Faktor internal
Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu-satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.
(b) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan percintaan dan sebagainya .
Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain:
• tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu mereka takuti.
• merosotnya norma-norma susila dan keagamaan . Masyarakat sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung cuek sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat.
• bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-kebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.
(a) Faktor internal
Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu-satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.
(b) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan percintaan dan sebagainya .
Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain:
• tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu mereka takuti.
• merosotnya norma-norma susila dan keagamaan . Masyarakat sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung cuek sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat.
• bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-kebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.
G. Akibat-akibat prostitusiBeberapa akibat yang ditimbulkan oleh prostitusi, antara lain:
• menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit
Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak merambat terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan prostitusi ini .
• merusak sendi-sendi kehidupan keluarga
Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke masyarakat luas.
• berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan minuman keras
Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam hubungan seksual.
• merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan agama.
• menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit
Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak merambat terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan prostitusi ini .
• merusak sendi-sendi kehidupan keluarga
Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke masyarakat luas.
• berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan minuman keras
Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam hubungan seksual.
• merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan agama.
H. Peraturan terkait prostitusi
Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya sendiri belum ada hukumannya .
Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya sendiri belum ada hukumannya .
I. Solusi
Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Usaha yang bersifat preventif
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :
• penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran.
• pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
• memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
• penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga
• penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.
• meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya
2) Tindakan yang bersifat represif dan kuratif
Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa :
• melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah terpencil yang jauh dari keramaian.
• untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral dan agama, latihan–latihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka bersifat kreatif dan produktif.
• penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.
• menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.
Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Usaha yang bersifat preventif
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :
• penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran.
• pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
• memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
• penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga
• penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.
• meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya
2) Tindakan yang bersifat represif dan kuratif
Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa :
• melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah terpencil yang jauh dari keramaian.
• untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral dan agama, latihan–latihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka bersifat kreatif dan produktif.
• penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.
• menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.
J. Tujuan lokalisasiDalam penanganan prostitusi ini lokalisasi dianggap sebagai sebuah jalan keluar. Lokalisasi ini pada umumnya terdiri atas rumah kecil yang dikelola mucikari atau germo. Lokalisasi biasanya berada pada suatu wilayah tertentu saja dan biasanya letaknya terpencil jauh dari tengah kota.
Tujuan dari lokalisasi ini sendiri adalah:
1. untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama nak-anak dari pengaruh immoril dari praktek pelacuran.
2. memudahkan pengawasan para wanita tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya.
3. mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur, yang pada umumnya selalu menjadi pihak yang paling lemah.
4. memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan resoialisasi.
Lokalisasi secara resmi pertama kali di Jakarta diadakan tahun 1970’an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973 .
Tujuan dari lokalisasi ini sendiri adalah:
1. untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama nak-anak dari pengaruh immoril dari praktek pelacuran.
2. memudahkan pengawasan para wanita tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya.
3. mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur, yang pada umumnya selalu menjadi pihak yang paling lemah.
4. memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan resoialisasi.
Lokalisasi secara resmi pertama kali di Jakarta diadakan tahun 1970’an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973 .
Kesimpulan
Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan diperlukan penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada sejak zaman dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur yaitu faktor internal dan eksternal. Belum adanya undang-undang yang mengatur tentang perbuatan perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini. Terlebih kebijakan pemerintah yang terlalu longgar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam hal ini. Akibat dari prostitusi ini sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin dan aids serta membuat semakin merosotnya moral masyarakat. Lokalisasi merupakan jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di Indonesia. Dengan adanya lokalisasi ini akan mempermudah pemantauan terhadap para pelaku.
Daftar Pustaka
Bahan kuliah Patologi Sosial
Kartini Kartono, Patologi Sosial, 2005, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta
Kartini Kartono, Patologi Sosial, 2005, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-kepolisian/prostitusi-why/
http://harjasaputra.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran
http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=22
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id =NTY/1MDU=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar